handayunotes,  kemarihope

It’s Take Two to Tango (tentang perbedaan yang menyatukan)

Tidak jarang, perbedaan dipandang sebagai sesuatu yang negatif, menceraiberaikan dan penyebab kerusakan. Padahal sebenarnya,

Lagi-lagi, bicara tentang perbedaan, aku dan pasanganku jawabannya. Sepemahamanku dan sepanjang perjalananku bersamanya, aku sadari bahwa kami dua individu yang berbeda. Kami dibesarkan di keluarga dan lingkungan yang tak sama, kamipun tumbuh dengan memiliki kepribadian yang pun tak sama. Di samping dari karakteristik yang kami bawa sedari dalam kandungan.

Aku suka segera, dia lebih santai dan pelan-pelan. Aku inginnya segala sesuatunya harus jelas, dibuatkan plan yang terstruktur, tapi dia selalu ingin jalani sajalah. Aku yang selalu menunjukkan pikiran dan perasaanku dengan sejelas-jelasnya, tapi dia selalu “biasa saja” dalam mengekspresikannya. Ya, aku memang seperfeksionis itu, seimpulsive itu dan kadang jadi sangat dominan. Sedangkan ia menjalani hidupnya dengan se ‘apa adanya’ ia. Dengan sangat santai dan juga jarang sekali mengekspresikan perasaan dan pikirannya.

Tapi, aku kemudian sadari bawah perbedaan itu tidak ada apanya, setelah aku memutuskan untuk memberanikan diri melihat lebih dalam, setelah aku mau melihat lebih jauh, kemudian ternyata aku menemukan kesamaan-kesamaan yang sebenarnya kami miliki, walaupun yang terlihat dipermukaan hanyalah perbedaan dan perbedaan. Kesadaran ini tentunya tidak dengan instan kudapatkan. Perlu perjalanan yang sangat panjang, berliku hingga harus berperang melawan ego sendiri yang sudah pasti sulit ditaklukan.

Ini yang kusadari kemudian,

Aku jadi tahu, ada waktu-waktu kita malah harus pelan-pelan. Benar katanya, bahwa kita tidak sedang bertanding di waktu-waktu tertentu. Ada saatnya yang kita butuhkan memang hanya santai saja. Akupun jadi tahu bahwa pelan-pelan bisa membuat kita lebih menikmati waktu-waktu yang sedang kita jalani saat ini. Pelan-pelan bukan berarti kita tidak melakukan apapun, bukan berarti kita tidak melangkah maju, atau tidak akan mendapatkan hasil yang kita harapkan. Malah dengan pelan-pelan kita bisa lebih hati-hati memilih cara dan jalan yang lebih tepat daripada saat kita tergesa-gesa.

Mengekspresikan perasaan dan pikiran sejelas-jelasnya tidak selalu harus dilakukan. Misal, saat kita marah kita mengamuk dan berteriak, atau saat kita sedih kita menangis sekencang-kencangnya dan lama. Menjelaskan apa yang kita rasakan dan pikirkan jauh lebih penting dan berguna. Dia yang jarang menunjukan sedih dan senangnya, tapi kusadari ia ternyata lebih sering menjelaskan kenapa dia melakukan sesuatu atau bagaimana dia bersikap disaat kondisi tertentu. Kusadari dia lebih sering menjelaskan dengan kata-kata apa yang sedang dipikirkan dan dirasakannya saat itu.

Aku ingat, saat omnya meninggal beberapa bulan yang lalu, dia begitu sedih, aku tahu walau dia tidak menangis. Bagaimana aku tahu betapa dia sedihnya dan sangat terluka karena kepergian mendadak omnya, karena dia menjelaskannya dengan kata-kata yang sangat jelas untukku. Dia menceritakan kenangan mereka berdua, bagaimana suamiku menganggapnya sebagai seorang ayah, bagaimana penyesalan yang dirasakan olehnya karena belum bisa melakukan hal-hal yang sudah dijanjikan sebelumnya. Begitulah dia menunjukkan perasaannya, tidak mengekspresikannya dengan menangis sejadi-jadinya, atau tidak tidur, atau tidak makan, tapi lebih menjelaskan sejelas-jelasnya. Dan ternyata dengan begitu orang lain (khususnya aku kepadanya) benar-benar memahami rasa sedih dan terlukanya dia.

Dan tidak hanya aku, diapun jadi tahu, terkadang butuh waktu untuk bergegas, untuk segera melakukan sesuatu, tidak ditunda, atau dilakukan dengan pelan apalagi dengan santai-santai saja. Tidak semua hal harus direspon dengan santai, ada waktu-waktu kita sedang bertanding atau bahkan berperang dengan keadaan, atau bahkan dengan waktu. Diam saja atau terlalu santai dalam beberapa keadaan mungkin tidak akan menghasilkan sesuatu. Dulu waktu masih lajang, sebelum menikah, diapun hanya melakukan sesuatu untuk dirinya sendiri, sedangkan sekarang ketika sudah berkeluarga, ada hal-hal yang tak sama ketika masih muda, dan dia menyadari itu. Diapun mulai belajar melihat peluang lain, diluar zona nyaman dia dan mulai bergegas untuk melakukan sesuatu untuk kemajuan diri dan bersama.

Terkadang dia juga bisa tertawa terbahak-bahak dan aku sangat menghargai itu, diapun mulai mengekspresikan juga perasaannya dengan sejelas-jelasnya. Kubiarkan hanya dia yang berkata-kata sepanjang waktu dan aku hanya harus mendengarkan, sesekali tersenyum dan menganggukkan kepala tanda selalu tetap mendengarkan. Sekarang tidak hanya menjelaskan saja, ia juga menunjukkan atau mengekspresikan pikiran dan apapun yang dirasakannya. Katanya ternyata itu membuatnya nyaman dan juga lebih lega dari sebelumnya.

Sekali lagi, it takes two to tango!

Suatu hari aku dan pasanganku berargumen mengenai “apakah beli sebelum habis atau sesudah habis” – salah satu perbedaan kami, yang sebenarnya sederhana saja. 

Waktu itu minyak dan garam kami hampir habis, aku yang ingin segera, ingin langsung ke supermarket untuk membelinya. Sedangkan si suami, ingin sampai benar-benar habis dulu baru beli lagi. Aku yang impulsive ini berkata-kata “kalau tinggal sedikit gitu, memang cukup buat masak?” kemudian dia yang santai saja, menjawab dengan juga santai “kita bisa masak yang cukup dengan minyak dan garamnya,”.

Aku tidak mau kalah, lagi-lagi ku konfrontasi dia, “nanti kalau mau masak trus habis semua ga jadi masak dong, ga makan dong,” dia lagi-lagi dengan santai menjawab “kan kalau sudah habis bisa langsung beli, kalau ga ada kan bisa ga masak, bisa beli makan,”

Aku bersyukur cepat tersadarkan, jadi tidak perlu capek-capek untuk bicara omong kosong lagi, yang mungkin akan menjadikan pertengkaran di dapur pagi itu. 

Aku menarik nafas panjang, 

Kemudian terdiam, tanda aku sedang tidak nyaman, sebel! 

Dia tertawa dan memegang pundakku, 

“its okay, semua bisa diatur, ga harus cemas ini itu, yang bisa kita cari jalan keluarnya, apalagi soal makanan, yang jualan makanan masih banyak. kita tidak akan segera mati karena terlambat masak, karena harus membeli minyak dan garam dulu.”

kalimat itu menenangkan, tapi juga menyadarkanku.

  1. menjadi ibu rumah tangga membuatku menuntut diriku sendiri untuk selalu siap sedia menyiapkan makanan untuk suamiku. aku bertanggung jawab penuh dengan urusan dapur dan perut kami. kutuntut diriku untuk segera menyediakan, untuk menyediakan sebelum kami membutuhkan, untuk selalu waspada dan siap siaga. dan ternyata itu membuatku tidak menikmati bagaimana aku bangganya bisa berdiri di depan kompor, bisa lega melihat senyum kenyang suamiku setelah makan. 
  2. aku belajar mengenai cukup. seberapa kita punya segitu kita jadikan cukup. ini membuatku tidak terlalu memaksakan diriku, bahwa aku harus begini, aku harus begitu, sedangkan aku belum memiliki hal-hal yang dapat mendukungku. 
  3. membeli nanti setelah semua habis atau segera membeli sebelum semuanya habis sama-sama memberi keuntungan di waktu-waktu tertentu. aku menyadari dengan membeli setelah habis kita bisa menggunakan uang untuk yang lain yang lebih urgent, sedangkan dia, dia tahu bahwa di waktu-waktu tertentu segera membeli agar bisa lebih awal menyiapkan kalau ada hal-hal yang mendesak. tergantung kondisinya. 

Dan itulah dia banyaknya kesadaran yang membuatku kembali bersyukur karena jadi menambah lagi wawasan-wawasan baru yang kudapatkan dari yang namanya perbedaan. Sekali lagi perbedaan tidak selalu tentang hal-hal negatif atau sesuatu yang buruk.

Yuk belajar sama-sama, selalu mencari hal-hal baik disetiap perbedaan atau hal-hal buruk sekalipun yang kita sedang hadapi.

Semangat selalu, untuk tetap berjuang di dalam perjuangan kita masing-masing.

Seorang psikolog klinis merangkap sebagai mamanya twomungils dan juga istri cantiknya handayu (handika&ayu) Yang suka sekali menulis dan menuangkan semua yang ada di kepala yang buanyaaak banget ternyata isinya. Yang kemudian dituliskan saja karena takut lupa dan juga “oke juga nih pemikiran gue” lol Anw, welcome, Semoga apapun yang kubagikan disini bisa berguna dan memberi inspirasi ya Love, andiniayu

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *