
It’s Take Two to Tango (tentang perbedaan yang menyatukan)
Tidak jarang, perbedaan dipandang sebagai sesuatu yang negatif, menceraiberaikan dan penyebab kerusakan. Padahal sebenarnya,
Kalau kita mau sedikit lagi mendalami maksudnya, maka kita akan mendapatkan makna positif darinya.
Kalau kita mau sedikit saja rela melihat dari sudut pandangnya, kita akan melihat ia juga bisa menyatukan.
Kalau saja kita mau sedikit saja ikhlas menerimanya, kita akan melihat ia juga bisa memperbaiki yang telah usang.
Lagi-lagi, bicara tentang perbedaan, aku dan pasanganku jawabannya. Sepemahamanku dan sepanjang perjalananku bersamanya, aku sadari bahwa kami dua individu yang berbeda. Kami dibesarkan di keluarga dan lingkungan yang tak sama, kamipun tumbuh dengan memiliki kepribadian yang pun tak sama. Di samping dari karakteristik yang kami bawa sedari dalam kandungan.
Aku suka segera, dia lebih santai dan pelan-pelan. Aku inginnya segala sesuatunya harus jelas, dibuatkan plan yang terstruktur, tapi dia selalu ingin jalani sajalah. Aku yang selalu menunjukkan pikiran dan perasaanku dengan sejelas-jelasnya, tapi dia selalu “biasa saja” dalam mengekspresikannya. Ya, aku memang seperfeksionis itu, seimpulsive itu dan kadang jadi sangat dominan. Sedangkan ia menjalani hidupnya dengan se ‘apa adanya’ ia. Dengan sangat santai dan juga jarang sekali mengekspresikan perasaan dan pikirannya.
Tapi, aku kemudian sadari bawah perbedaan itu tidak ada apanya, setelah aku memutuskan untuk memberanikan diri melihat lebih dalam, setelah aku mau melihat lebih jauh, kemudian ternyata aku menemukan kesamaan-kesamaan yang sebenarnya kami miliki, walaupun yang terlihat dipermukaan hanyalah perbedaan dan perbedaan. Kesadaran ini tentunya tidak dengan instan kudapatkan. Perlu perjalanan yang sangat panjang, berliku hingga harus berperang melawan ego sendiri yang sudah pasti sulit ditaklukan.
Ini yang kusadari kemudian,
sebenarnya diakhirnya, di ujung sana, impian dan harapan dan keinginan kami sama, tapi kami memiliki cara yang berbeda dalam meraihnya, dan kami menempuh jalan yang berbeda untuk menggapainya.
Dan sekarang, yang perlu kami tanamkan dalam hati adalah bukan cara dan jalannya yang berbeda yang harus menjadi fokus kami, yang sudah pasti perbedaan itu akan menjadi sumber perselisihan dan perdebatan diantara kami. Tapi pemahaman dan tahu bahwa tujuan yang kami ingini sama, membuat kami nyaman juga saat salah satu melakukan dengan cara dan jalannya. Toh, apa yang dilakukannya memiliki tujuan yang sama denganku. Jadi tak masalah dia melakukan A, walaupun aku tidak terbiasa dengan itu karena selalu melakukan B. Tak mengapa dia melakukannya dengan cara dan jalannya, seseorang tidak akan mudah begitu saja merubah kebiasaan yang telah membuatnya nyaman dan merasa aman selama bertahun-tahun. Dan lagi selagi cara dan jalannya baik, tak merugikan, apalah artinya ketidaknyaman kita, yang sebenarnya tak harus kita fokuskan?
Kemudian apa yang kami dapatkan?
Aku jadi tahu, ada waktu-waktu kita malah harus pelan-pelan. Benar katanya, bahwa kita tidak sedang bertanding di waktu-waktu tertentu. Ada saatnya yang kita butuhkan memang hanya santai saja. Akupun jadi tahu bahwa pelan-pelan bisa membuat kita lebih menikmati waktu-waktu yang sedang kita jalani saat ini. Pelan-pelan bukan berarti kita tidak melakukan apapun, bukan berarti kita tidak melangkah maju, atau tidak akan mendapatkan hasil yang kita harapkan. Malah dengan pelan-pelan kita bisa lebih hati-hati memilih cara dan jalan yang lebih tepat daripada saat kita tergesa-gesa.
Mengekspresikan perasaan dan pikiran sejelas-jelasnya tidak selalu harus dilakukan. Misal, saat kita marah kita mengamuk dan berteriak, atau saat kita sedih kita menangis sekencang-kencangnya dan lama. Menjelaskan apa yang kita rasakan dan pikirkan jauh lebih penting dan berguna. Dia yang jarang menunjukan sedih dan senangnya, tapi kusadari ia ternyata lebih sering menjelaskan kenapa dia melakukan sesuatu atau bagaimana dia bersikap disaat kondisi tertentu. Kusadari dia lebih sering menjelaskan dengan kata-kata apa yang sedang dipikirkan dan dirasakannya saat itu.
Aku ingat, saat omnya meninggal beberapa bulan yang lalu, dia begitu sedih, aku tahu walau dia tidak menangis. Bagaimana aku tahu betapa dia sedihnya dan sangat terluka karena kepergian mendadak omnya, karena dia menjelaskannya dengan kata-kata yang sangat jelas untukku. Dia menceritakan kenangan mereka berdua, bagaimana suamiku menganggapnya sebagai seorang ayah, bagaimana penyesalan yang dirasakan olehnya karena belum bisa melakukan hal-hal yang sudah dijanjikan sebelumnya. Begitulah dia menunjukkan perasaannya, tidak mengekspresikannya dengan menangis sejadi-jadinya, atau tidak tidur, atau tidak makan, tapi lebih menjelaskan sejelas-jelasnya. Dan ternyata dengan begitu orang lain (khususnya aku kepadanya) benar-benar memahami rasa sedih dan terlukanya dia.
Dan tidak hanya aku, diapun jadi tahu, terkadang butuh waktu untuk bergegas, untuk segera melakukan sesuatu, tidak ditunda, atau dilakukan dengan pelan apalagi dengan santai-santai saja. Tidak semua hal harus direspon dengan santai, ada waktu-waktu kita sedang bertanding atau bahkan berperang dengan keadaan, atau bahkan dengan waktu. Diam saja atau terlalu santai dalam beberapa keadaan mungkin tidak akan menghasilkan sesuatu. Dulu waktu masih lajang, sebelum menikah, diapun hanya melakukan sesuatu untuk dirinya sendiri, sedangkan sekarang ketika sudah berkeluarga, ada hal-hal yang tak sama ketika masih muda, dan dia menyadari itu. Diapun mulai belajar melihat peluang lain, diluar zona nyaman dia dan mulai bergegas untuk melakukan sesuatu untuk kemajuan diri dan bersama.
Terkadang dia juga bisa tertawa terbahak-bahak dan aku sangat menghargai itu, diapun mulai mengekspresikan juga perasaannya dengan sejelas-jelasnya. Kubiarkan hanya dia yang berkata-kata sepanjang waktu dan aku hanya harus mendengarkan, sesekali tersenyum dan menganggukkan kepala tanda selalu tetap mendengarkan. Sekarang tidak hanya menjelaskan saja, ia juga menunjukkan atau mengekspresikan pikiran dan apapun yang dirasakannya. Katanya ternyata itu membuatnya nyaman dan juga lebih lega dari sebelumnya.
Yang ingin kusampaikan dan kubagi
Perbedaan pasti akan selalu ada, tidak ada siapapun yang memiliki kesamaan 100% dengan yang lainnya, dalam hal apapun. Bukan perbedaan yang seharusnya menjadi fokus utamanya, tapi apa tujuan akhir dari perbedaan itu dan bagaimana kita menerima dan mentoleransi cara dan jalan yang berbeda dari orang-orang terdekat kita dalam meraih tujuan akhirnya yang mungkin sama dengan kita.
Harus sama-sama, harus ada ketersalingan untuk menghasilkan sesuatu demi kenyamanan dan kebahagiaan bersama.
Kalau yang satu bersedia menurunkan ekspektasi dan egonya dengan sukarela dan senang hati, maka yang satunya juga harus membesarkan lagi usahanya tanpa beban untuk menggapai harapan yang telah disepakati bersama.
Bukannya pasangan itu harus selalu saling mengimbangi? Baik dengan menurunkan ekspektasi atau menaikkan kemampuan menyamai.
Bukannya pasangan itu harus saling berkeja sama? Bekerja sama dalam segala hal, untuk menciptakan “rumah” yang aman dan damai, serta mencapai impian-impian bersama yang selalu dirindukan. Rumah yang baik dan kokok tidak bisa hanya dibangun oleh salah satu orang saja.
Karena yang namanya berpasangan,
BUKAN berarti satu berusaha mati-matian, tapi yang lain hanya berpangku tangan.
BUKAN berarti yang satu mengalah untuk selalu menurunkan atau menaikkan harap dan kemampuan, sedangkan yang lain, berdiam diri enggan keluar dari zona nyamannya.
Yang namanya berpasangan, selalu mengutamakan saling, kalau ada kata saling, selalu ada timbal balik untuk menyeimbangkan. Untuk menyeimbangkan harus selalu ada kerja sama.
Sekali lagi, it takes two to tango!
Ini pengalamanku dengan suami mengenai perbedaan:
Suatu hari aku dan pasanganku berargumen mengenai “apakah beli sebelum habis atau sesudah habis” – salah satu perbedaan kami, yang sebenarnya sederhana saja.
Waktu itu minyak dan garam kami hampir habis, aku yang ingin segera, ingin langsung ke supermarket untuk membelinya. Sedangkan si suami, ingin sampai benar-benar habis dulu baru beli lagi. Aku yang impulsive ini berkata-kata “kalau tinggal sedikit gitu, memang cukup buat masak?” kemudian dia yang santai saja, menjawab dengan juga santai “kita bisa masak yang cukup dengan minyak dan garamnya,”.
Aku tidak mau kalah, lagi-lagi ku konfrontasi dia, “nanti kalau mau masak trus habis semua ga jadi masak dong, ga makan dong,” dia lagi-lagi dengan santai menjawab “kan kalau sudah habis bisa langsung beli, kalau ga ada kan bisa ga masak, bisa beli makan,”
Aku bersyukur cepat tersadarkan, jadi tidak perlu capek-capek untuk bicara omong kosong lagi, yang mungkin akan menjadikan pertengkaran di dapur pagi itu.
Aku menarik nafas panjang,
Kemudian terdiam, tanda aku sedang tidak nyaman, sebel!
Dia tertawa dan memegang pundakku,
“its okay, semua bisa diatur, ga harus cemas ini itu, yang bisa kita cari jalan keluarnya, apalagi soal makanan, yang jualan makanan masih banyak. kita tidak akan segera mati karena terlambat masak, karena harus membeli minyak dan garam dulu.”
kalimat itu menenangkan, tapi juga menyadarkanku.
- menjadi ibu rumah tangga membuatku menuntut diriku sendiri untuk selalu siap sedia menyiapkan makanan untuk suamiku. aku bertanggung jawab penuh dengan urusan dapur dan perut kami. kutuntut diriku untuk segera menyediakan, untuk menyediakan sebelum kami membutuhkan, untuk selalu waspada dan siap siaga. dan ternyata itu membuatku tidak menikmati bagaimana aku bangganya bisa berdiri di depan kompor, bisa lega melihat senyum kenyang suamiku setelah makan.
- aku belajar mengenai cukup. seberapa kita punya segitu kita jadikan cukup. ini membuatku tidak terlalu memaksakan diriku, bahwa aku harus begini, aku harus begitu, sedangkan aku belum memiliki hal-hal yang dapat mendukungku.
- membeli nanti setelah semua habis atau segera membeli sebelum semuanya habis sama-sama memberi keuntungan di waktu-waktu tertentu. aku menyadari dengan membeli setelah habis kita bisa menggunakan uang untuk yang lain yang lebih urgent, sedangkan dia, dia tahu bahwa di waktu-waktu tertentu segera membeli agar bisa lebih awal menyiapkan kalau ada hal-hal yang mendesak. tergantung kondisinya.
Dan itulah dia banyaknya kesadaran yang membuatku kembali bersyukur karena jadi menambah lagi wawasan-wawasan baru yang kudapatkan dari yang namanya perbedaan. Sekali lagi perbedaan tidak selalu tentang hal-hal negatif atau sesuatu yang buruk.
Yuk belajar sama-sama, selalu mencari hal-hal baik disetiap perbedaan atau hal-hal buruk sekalipun yang kita sedang hadapi.
Semangat selalu, untuk tetap berjuang di dalam perjuangan kita masing-masing.

